Saat pagi di pelataran rumah yang mengerutkan mata memandang dari keramaian, seorang ibu-ibu muda membawa beban di hadapannya dengan pesona tak berarti yang menggambarkan sebaliknya atas kesusahan. Dia berjalan menyusuri apa saja yang menurutnya instingnya baik bagi apa yang tengah diamanatkan atas dirinya, ibu itu berjalan dan menerima pesan yang telah digariskan untuk ia teladani dan tak mungkin di hindarinya. Tiba-tiba saja kelelahan menghinggap, ibu muda itu merebahkan sebentar badan dan hati serta pikirannya.
Pada suasana yang begitu tak mengindahkan suara hatinya yang sedang direlung kegundahan, kegelisahan karena yang dinanti sedang belum tiba waktunya untuk mengabarkan apa dan / atau siapa yang menantikannya juga, gembira itu suasana yang tak kalah prioritas yang terpancar melalui mimik yang mendalam yang tentunya hanya ia saja yang mengetahuinya. Namun kecemasan yang cukup jelas terlukis di rona wajahnya yang sebenarnya tak terlalu cantik menjadi merasa cantik karena megerti kabar kesempurnaan sebagai seorang wanita akan segera disandangnya.
Hari itu tiba, saat untuk melihat si idaman hati untuk perencanaan yang telah terakomodasi dengan enggan baik.
"Anakku yang manis, meski tak kulihat kau di dalam sana tetapi aku yaqin kau akan tumbuh kembang menjadi manusia yang mandiri dan kuat yang mampu untuk meraih dan memegang benda pijakanmu dengan bijaksana atas dasar pengabdianmu kepada-Nya." Ujarnya dalam hati dengan terjemahan melalui bibir hitamnya.
Hari berganti hari, Ahad berganti Ahad dan begitu seterusnya, urutan-urutan waktu tersebut terasa begitu sangat lama dan membosankan baginya, nampak dengan sangat jelas dari kerutan yang sedikit yang tampak terlihat dari kejauhan maupun dekat. Menurrut persepsinya waktu adalah hal yang sulit ditaklukan yang namun juga tidak sulit mengendalikannya jika menghayati suasana dan melakukan berdasarkan itu dengan baik serta suasana diri yang tidak bergejolak dan unsur pemantik diri yang terkontrol.
Pada akhirnya hari yang dinantikan datang jua, seoang putra dengan pusarnya yang begitu panjang tak menangis hingga tangan jahil pun mendarat di area kepribadiannya. Entah karena masih awam sebagai bidan ataukah sengaja, entahlah yang jelas individu baru itu menangis sebisanya saja. Persalinan yang memakan waktu dua jam itu akhirnya terbayar dengan senyum wajah yang tiada duanya. Sosok yang mengalahkan jutaan dirinya yang lain itu tengah menjadi buah halus yang dirindui.
Seperti kebiasaan ibu pada umumnya yang senantiasa memberikan hal-hal eksklusif kepada si sayang-sayang yang unyu-unyu yang gemuk menggemaskan dan putih lembab seakan seperti, yah.. begitulah.
Waktu yang oleh bangsa arab dikatakan bagaikan pisau, jika tidak pandai kita akan teriris pun perlahan terlewati. Si buah hati mulai beranjak dewasa dan tiba waktunya menuntut pengetahuan, ia memilih sebuah universitas yang cukup ternama disalah satu kota kecil yang dahulu terkenal dengan kota santrinya dan atas alasan modern kini bertransformasi menjadi kota batik.
Remaja itu bernama Umair. Saat pagi mulai terinjak ia bergegas menata diri dengan sebaik-baiknya untuk menuju ke kampus yang kian bersinar dengan fakultas keguruan dan ilmu pendidikannya itu. Dengan menumpang bis yang disebut bis tuyul ia duduk terbelakang, matanya tak lengah tanpa henti mengawasi dengan penghayatan namun otaknya terus-menerus bekerja menerjemahkan objek yang tervisualkan oleh matanya yang sayup bila terkena sinar matahari lambang masih ada oportuniti. Kakinya segera beranjak ketika suara gaduh bergemuruh tanda tujuan segera terhampiri. Ia berlari dengan antusiasnya, verba lugu merupakan aksen identitas diri yang tak dibuat-buat menyambut hari pertama masuk perkuliahan diawal.
"Assalamualaikum" Ucapnya saat memasuki ruang yang dirindunya.
"Wa'alaikum salam" jawab dosen yang diikuti pelajar lain.
"Silakan duduk, oke perkuliahan kita lanjutkan kembali" Sambung si dosen.
"Ada tiga unsur penyusun sastra, yaitu sejarah sastra, teori sastra, dan kritik sastra. Ketiganya saling berkaitan guna tercipta karya sastra. Menurut kalian manakah yang terlebih dahulu ada antara teori dan karya sastra?" Tanya si dosen.
"(Mengacungkan tangan) Teori terlebih dahulu." Jawab sebagian besar pelajar mahasiswa.
"Karya terlebih dahulu" Tukas Umair.
Tukasannya membuat seisi ruangan menjadi hening sejenak.
"Bisakah kau menjelaskannya!" pinta sang dosen.
"Thomas Ava Edison membuat benda berpendar yang kini disebut bola lampu tanpa melihat panduan dan penyertaan teori khusus mengenai bolam, melainkan beliau melakukan eksperimen dan hingga pada percobaan yang kesepuluh ribu kali barulah beliau berhasil menciptakan benda berpijar yang bernama bola lampu. Setelah selesai menciptakkan barulah beliau menuliskan tentang teorinya. Dengan demikian karya lebih dulu dibanding teori." Jawabnya.
"Jawabannya sangat baik sekali tepuk tangan untuk teman kalian." Sahut sang dosen muda itu.
Dan seketika suasana kelas menjadi ramai dengan kalian tepukan tangan.
"Iya memang betul bahwa karya memang lebih dahulu daripada teori" Sambung dosen.
Perkuliahan berakhir perasaan bangga lagi hati bersemi menggerayangi diri Umair yang juga dikaruniai paras yang cukup untuk dipersepsikan rupawan. Setelahnya Umair bergegas menuju perpustakaan yang kemudian dilanjutkan ke ruang tata usaha (TU), disana ia melihat sesosok yang amat mengindahkan kornea coklat tuanya. Ia terpesona dengan pandangan pertamanya, ragam imaji terfokuskan di pikirannya yang melalang buana membelah langit hingga ke lapisan ozon dilapis terluar. Tidak ada tanda-tanda ingin beranjak pergi menghindarinya, dia pikir ini yang dimaksud "si merah jambu". Pandangan mata dan caranya berlaku memang memerlihatkan bahwa betapa pemuda koleris-melankolis ini tak begitu mengerti tanda-tanda itu, tapi dapat merasakannya. Ia begitu tenang namun hatinya berkecamuk memohon si pujaan mengerti akan hadirnya tanda atas rasa itu. Pergi pun harus, tetapi tidak pikirannya. Kembali ke ruang rindu tak membuatnya lengah untuk sejenak mengambil pikirannya yang sengaja ditinggalkan disana, memang tak terlihat oleh yang lainnya bahkan oleh si dia sekalipun.
Bersama Rosi sahabat karibnya ia melanjutkan hidup sesuai kewajibannya sebagai pelajar. Entah oleh apa, tidak tertafik bahwa perubahan mulai bersahabat dengannya, fantasi akan si dia perlahan pudar meski semmpat menjadi-jadi. Tohokkan hati menjadi tertinggi perlahan secara sengaja dibuat menguat agar kisi-kisi hidup satu demi satu terlakukan sesuai. Tak ada lagi harapan itu, tak ada lagi buaian kasmaran yang mendrama dalam pikiran yang terkonversi melalui tindakan dan dianggap bicara dan bergerak bukan yang seharusnya tapi mimik aneh tidak terhindari dan, aneh bagi yang melihatnya.
Gelar sarjana sudah di tangan, konklusi ini hanyalah peninggalan atas suatu hal yang menjadi peristiwa telah dilalui. Bayangan masa silam memang kerap menjadi kenangan manis yang hanya diri yang mengetahui. Bayangan makin bermakna ketika apa atau tepatnya sesiapa dari lawan jenis yang dimelodikannya hanya tinggal cinta di mata, dan makin sempurna dengan bangku taman sebagai teman yang tak banyak bicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar