10 Okt 2010

SEJARAH MITONI

sejarah mitoni

Upacara Tingkeban adalah satu dari bermacam-macam tradisi upacara masyarakat Jawa, khususnya masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Upacara yang diadakan untuk memperingati tujuh bulan usia kandungan ini – hanya - dilakukan bagi wanita yang baru pertama kali mengalami kehamilan.

Dalam tradisi masyarakat Yogyakarta - baik dari golongan rakyat biasa maupun golongan bangsawan (priyayi) yang hidup di lingkungan kraton - upacara ini merupakan upacara terpenting diantara upacara-upacara tradisional yang lain. Jika upacara ini diabaikan, masyarakat Jawa - khususnya masyarakat di Yogyakarta - percaya bahwa hal tersebut akan mengakibatkan gangguan terhadap keselamatan ibu dan bayi yang dikandungnya. Disamping itu, banyak orang beranggapan bahwa melahirkan anak tanpa – sebelumnya - mengadakan upacara Tingkeban ini disebut ngebokake anak: menyamakan anak tersebut dengan seekor kerbau. Hal ini telah banyak dilukiskan oleh Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul The Religion of Java (20, 45). Oleh karena itu, masyarakat diharuskan mengadakan upacara Tingkeban walaupun dengan acara sederhana.

Sejarah atau asal usul terjadinya upacara Tingkeban di dalam masyarakat Jawa - khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta - akan diuraikan sebagai berikut:

Pada jaman kerajaan Kediri diperintah oleh Raja Jayabaya, ada seorang wanita yang bernama Niken Satingkeb. Ia menikah dengan seorang punggawa kerajaan yang bernama Sadiyo. Dari perkawinan ini, lahirlah sembilan orang anak. Akan tetapi, nasib malang menimpa mereka, karena dari kesembilan anak tersebut tak ada seorangpun yang berumur panjang.

Sadiyo dan Niken satingkeb tidak putus asa dalam berusaha dan selalu berdoa agar mempunyai anak lagi yang kelak tidak bernasib malang seperti anak-anak mereka sebelumnya. Segala petuah dan petunjuk dari siapa saja selalu mereka perhatikan, tetapi tidak ada juga tanda-tanda bahwa istrinya mengandung. Maka, pergilah suami istri tersebut menghadap raja untuk mengadukan kepedihan hatinya dan mohon petunjuk sarana apakah yang harus mereka lakukan agar dianugerahi seorang anak lagi yang tidak mengalami nasib seperti anak-anaknya terdahulu.

Sang raja yang arif bijaksana itu terharu mendengar pengaduan Nyai Niken Satingkeb dan suaminya. Maka, beliau memberikan petunjuk agar Nyai satingkeb - pada setiap hari Tumbak (Rabu) dan Budha (Sabtu) - harus mandi dengan air suci dengan gayung berupa tempurung kepala yang disebut bathok disertai dengan membaca doa seperti berikut:

"Hong Hyang Hanging Amarta, Martini Sarwa Huma, humaningsun ia wasesaningsun, ingsun pudyo sampurno dadyo manungso."

Setelah mandi, ia memakai pakaian yang serba bersih. Kemudian dijatuhkan dua butir kelapa gading melalui jarak antara perut dan pakaian. Kelapa gading tersebut digambari Sang Hyang Wisnu dan Dewi Sri atau Arjuna dan Sumbadara. Maksudnya adalah agar jika kelak anaknya lahir, ia mempunyai paras elok atau cantik seperti yang dimaksud dalam gambar itu. Selanjutnya, wanita yang hamil itu harus melilitkan daun tebu wulung pada perutnya yang kemudian dipotong dengan keris.
Segala petuah dan anjuran sang raja itu dijalankannya dengan cermat, dan ternyata segala yang mereka minta dikabulkan. Semenjak itu, upacara ini diwariskan turun-temurun dan menjadi tradisi wajib bagi masyarakat Jawa.

 

Mitos

Simbolisasi Keyakinan Yang Tidak Berdasar

Ada harapan besar dari setiap hal yang dilakukan oleh orang tua demi menyambut kelahiran buah hatinya. Namun seringkali hal itu justru mengarah pada kesesatan-kesesatan yang jelas-jelas dibenci oleh Allah Ta'ala. Diperlukan ketelitian dalam memilah dan memilih mana yang tepat untuk dilakukan dengan bersandar pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Anak adalah anugrah yang diberikan Allah, sebagai satu amanah yang harus dijalankan dengan baik. Kehadiran anak bagi orang tua, terlebih anak pertama mampu membawa kenambah keharmonisan hubungan dalam keluarga. Untuk itu, orang tua seringkali melakukan berbagai upaya agar anak yang dilahirkan memperoleh kemudahan baik dari proses kelahiran hingga pada kulitas fisik ataupun mental sang anak. Tidak jarang, upaya yang dilakukan oleh terkesan "asal manut" pada orang-orang yang dianggap lebih tua atau lebih pandai, tanpa memahami lebih dalam makna dan tujuan upaya tersebut.
Kehadiran anak yang masih dalam kandungan (bayi) menjadi perhatian khusus bagi calon orang tua. Dari segi kesehatan, calon ibu senantiasa dengan sabar memeriksakan kandungannya ke dokter secara periodik agar kesehatan bayi terjaga. Tidak cukup disitu, berbagai rangkaian upara pada bulan-bulan tertentu pun disiapkan demi keyakinan membawa pengaruh positif bagi sang bayi yang masih dalam kandungan itu.
Di jawa, proses kehamilan mendapat perhatian tersendiri bagi masyarakat setempat. Harapan-harapan muncul terhadap bayi dalam kandungan, agar mampu menjadi generasi yang handal dikemudian hari. Untuk itu, dilaksanakan beberapa tradisi yang dirasa mampu mewujudkan keinginan mereka terhadap anak tersebut. Diantara tradisi tersebut adalah upacara mitoni. Mitoni sendiri berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Ini dimaksudkan bahwa mitoni adalah ritual yang dilaksanakan pada saat bayi menginjak usia tujuh bulan dalam kandungan. Ada keyakinan bahwa upacara ini berpengaruh terhadap keselamatan bagi sang ibu dan anak yang ada dalam kandungan. Secara umum, tradisi mitoni ini terdiri atas beberapa tahapan, diantaranya upacara siraman. Tahap ini dimaksudkan sebagai simbol pembersihan atas segala kejahatan dari bapak dan ibu bayi. Setelah siraman, ritual kemudian dilanjutkan dengan memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami. Masyarakat setempat meyakini bahwa hal itu merupakan perwujudan harapan agar proses kelahiran sang bayi dapat berjalan dengan lancar tanpa halangan apapun. Acara kemudian dilanjutkan dengan memasukkan kelapa gading muda dari perut atas sang ibu hingga kebawah dengan maksud untuk menghindari rintangan saat kelahiran sang bayi nantinya. Selain itu, dalam proses ritual mitoni ini terdapat pula proses ganti baju. Sang ibu akan berganti pakaian dalam tujuh motif, kemudian para tamu diminta untuk memilih salah satu dari tujuh kain tersebut yang cocok untuk sang ibu. Lalu, prosesi berlanjut ke pemutusan lawe/ lilitan benang atau janur oleh sang ayah. Tujuannya juga sama, agar proses kelahiran nanti berjalan lancar. Dalam upacara mitoni inipun terdapat acara pemecahan gayung atau periuk, dengan maksud ketika nanti sang ibu mengandung kembali tidak menemukan kendala yang berarti. Setelah itu, sang ibu diminta untuk meminum jamu sebagai sorongan/ dorongan dengan maksud agar bayi mampu keluar dengan cepat dan lancar seperti didorong dari dalam. Setelah semua prosesi tersebut berjalan, acara mitoni kemudian ditutup dengan proses mencuri telor. Seorang bapak berharap proses kelahiran sang anak mampu berjalan cepat sebagaimana kecepatan pencuri ketika beraksi.
Mitoni tidak bisa dilakukan pada hari-hari biasa. Dibutuhkan tanggal dan hari yang bagus menurut perhitungan jawa agar tak ada halangan yang menimpa nantinya. Tidak hanya itu, prosesi ini juga membutuhkan tempat khusus dalam melaksanakannya. Umumya, acara mitoni dilakukan pada siang atau sore hari di pasren atau tempat bagi para petani memuja dewi Sri. Namun karena saat ini sulit menemukan tempat tersebut, maka pelaksanaan mitoni dapat dilakukan di ruang tengah atau ruang keluarga yang cukup untuk menampung kehadiran tamu.

Harapan berbuah dosa
Malihat prosesi dan keyakinan diatas, para ulama memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Bila mitoni itu diyakini dan atau dikaitkan dengan agama, sehingga menyebabkan ketakutan jika tidak melaksanakannya, maka hal ini jelas menyimpang dari syariat islam. Karena Allah tidak mensyariatkan hal tersebut sehingga akan mengarah pada upaya muhdatsatul umur atau menambahi agama dan tergolong bid'ah yang sesat.
Akan tetapi, jika acara ini tidak diyakini sebagai bagian dari ibadah maka para ulama mempunyai pendapat yang berbeda. Sebagian ulama melarang jenis ritual seperti ini, karena tidak ada syariat yang mendasarinya. Tujuannya tak lain untuk membendung rusaknya agama dari munculnya bid'ah yang jelas-jelas dilarang agama. Karena bagaimanapun, Islam telah disempurnakan bagi umat manusia sebagai jalan yang lurus menuju ridho Allah Ta'ala. Dari situ dapat diambil kesimpulan, bahwa harapan yang terkandung dalam prosesi mitoni mampu dicapai dengan ibadah yang telah ditetapkan dalam syariat. Jika dilihat lebih dalam, pelaksanaan mitoni ini syarat dengan keyakinan-keyakinan yang mengarah pada terbentuknya penyandaran diri selain kepada Allah. Ini dapat dilihat dari penentuan hari dalam pelaksanaannya, proses siraman untuk menghilangkan kejahatan hingga simbol mencuri telor demi cepatnya proses kelahiran. Keyakinan-keyakinan ini jelas tidak berdasar, sehingga mampu menyeret pelakunya pada lembah syirik yang jelas-jelas dibenci oleh Allah.
Meski begitu, terdapat pula beberapa ulama yang memandang bahwa tidak semua bentuk aktivitas budaya masyarakat itu harus ditinggalkan, selama tidak mengandung unsur syirik, dosa, mudharat dan bertentangan dengan agama. Sehingga, jika pelaksanaan mitoni ini mampu menghindari unsur-unsur diatas, maka hal itu tidak dilarang.

Islam Hadir Dengan Kesempurnaan Bagi UmatSemua kembali kepada dasar yang ada untuk menentukan hukum tentang masalah mitoni ini. Alasan yang melandasi sebagian ulama dalam melarang ritual ini sangat jelas, terlebih jika terjadi benturan-benturan terhadap aturan syariat dalam prosesinya. Namun begitu, juga terdapat ulama yang memperbolehkan pelaksanaan ritual mitoni, dengan catatan menghindari unsur-unsur yang dilarang agama. Hanya saja, jika meninjau pelaksanaan mitoni yang telah berlaku, maka sangat jelas unsur-unsur yang mengarah pada kesyirikan di dalamnya.

Apakah 3bulanan, Tingkepan dalam masa kehamilan adalah ajaran Islam?

Seorang mantan Pandita Hindu ditanya;
[Sebelum masuk Islam beliau bernama Pandita Budi Winarno, setelah masuk Islam bernama Abdul Aziz]

Pertanyaan : Apakah Telonan, Mitoni dan Tingkepan dari ajaran Islam ?
[Telonan : Upacara 3 bulan masa kehamilan, Mitoni dan Tingkepan : Upacara 7 Bulan masa kehamilan; biasanya dengan mandi-mandi]

Jawab : Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarkat adalah teradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung]. Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkepan [terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46]

Intisari dari sesajinya adalah :

1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip).
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap "Empat Saudara" [sedulur papat] yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari. [orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari]

Hal ini dilakukan untuk panggilan kepada semua kekuatan-kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudara yang bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan, untuk bersama-sama diupacarai, diberi pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan alam.

Sedangkan upacara terhadap ari-ari, ialah setelah ari-ari terlepas dari si bayi lalu dibersihkan dengan air yang kemudian dimasukkan ke dalam tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil atau guci. Ke dalamnya dimasukkah tulisan "AUM" agar sang Hyang Widhi melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda lain sebagai persembahan kepada Hyang Widhi. Kendil kemudian ditanam di pekarangan, di kanan pintu apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu apabila bayinya perempuan.

Kendil yang berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga bulan. Apa yang diperbuat kepada si bayi maka diberlakukan juga kepada Empat Saudara tersebut. Kalau si bayi setelah dimandikan, maka airnya juga disiramkan kepada kendil tersebut. (Kitab Upadesa, tentang ajaran-ajaran Agama Hindu, oleh : Tjok Rai Sudharta, MA. dan Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja, cetakan kedua 2007)

Dikutip dari buku : Santri Bertanya Mantan Pendeta (Hindu) Menjawab
_________________________________________________________________

KETERANGAN TAMBAHAN ;

*1. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-5 Di Pekalongan, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H / 7 September 1930 M. Lihat halaman : 58.

Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya melempar kendi yang penuh air hingga pecah pada waktu orang-orang yang menghadiri UPACARA PERINGATAN BULAN KE TUJUH dari umur kandungan pulang dengan membaca shalawat bersama-sama, dan dengan harapan supaya mudah kelahiran anak kelak. Apakah hal tersebut hukumnya haram karena termasuk membuang-buang uang (tabzir) ?

Jawab :
Ya, perbuatan tersebut hukumnya H A R A M karena termasuk tabdzir.


*2. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-7 Di Bandung, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1351 H / 9 Agustus 1932 M. Lihat halaman : 71.

Menanam ari-ari (masyimah/tembuni) hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya H A R A M, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada manfa'atnya.


______________________
*Dikutip dari buku : "Masalah Keagamaan" hasil Muktamar/Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang, Kata Pengantar Menteri Agama Maftuh Basuni.

Wallahu 'alam.

3 komentar:

  1. wah ... artikele kayae kok sangat mirip dengan yang di blog lain (tapi usia di sini mudaan), waduh ... blogger yang kreatif ... lebih kreatif yang orisinal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu dari referensi dan hasil pemikiran sendiri dan sumbangsih orang lain.

      Hapus
  2. Terima kasih mas Salahudin Abu Umair atas artikel tentang sejarah tingkeban/mitoni yang mas buat. Artikel ini bisa menjadi referensi saya untuk data membuat tugas akhir saya tentang tingkeban/mitoni.

    Yang ingin saya tanyakan ialah sejak tahun berapa ya mas tradisi tingkeban ini muncul? Mohon di balas mas Salahudin.
    Terima kasih (teriyandi)

    BalasHapus

Sponsored By

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...