9 Jan 2011

Menghapus Citra Negara Korup

Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) 20l0 menunjukkan bahwa negara ini masih lekat dengan citra korup. Komitmen pemerintah dan kinerja pemberantasan korupsi harus ditingkatkan.
Demikian kesimpulan acara peluncuran IPK 2010 yang diselenggarakan Transparency international Indonesia (TII) di Jakarta, Selasa (27l10). Manajer Bidang Tata Kelola Ekonomi TII Frenky Simanjuntak mengatakan, skor IPK Indonesia Pada 2010 sama seperti tahun 2009, yaitu stagnan di angka 2,8. "Itu artinya tidak ada terobosan baru dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia, "kata dia.
Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/ CPI) ialah metode pengukuran tingkat korupsi skala global yang disusun berdasarkan persepsi masyarakat, laporan lembaga riset, dan Pelaku usaha terhadap tingkat korupsi serta transparansi tata kelola pemerintahan di suatu negara. Peluncuran IPK dilakukan secara serentak di seluruh dunia di bawah payung lembaga anti korupsi Transparency International yang berbasis di Jerman.
Adapun hasil Pemeringkatan dalam IPK menggunakan gabungan hasil jajak pendapat, kumpulan pendapat ahli terkait korupsi dan survei-survei yang diselenggarakan lembaga independent internasional. Untuk tahun 2010, TII menggabungkan data dari 13 survei yang dilakukan 10 organisasi di dunia, antara lain Africa Development Bank, Asian Development Bank, Economist Intelligence Unit, Global Insight, World Economic Forum, dan World Bank.
Gabungan hasil survei tersebut kemudian diolah dan dibuat pemeringkatan untuk tiap-tiap negara. Semakin tinggi skor IPK suatu negara, semakin rendah tingkat persepsi korupsi di negara bersangkutan. Sebaliknya, semakin rendah skor IPK suatu negara, semakin tinggi tingkat persepsi korupsi di negara bersangkutan, Nilai nol mengindikasikan bahwa negara tersebut dipersepsikan Paling korup, sedangkan nilai 10 menandakan negara tersebut paling tidak korup.
Dengan skor 2,8, Indonesia menduduki Peringkat ke-110 dari total 178 negara yang disurvei. Pada tahun sebelumnya, Indonesia mendapat skor 2,8 dan berada di peringkat ke-111 dari total 180 negara dalam hal persepsi korupsi. Secara global, skor IPK tertinggi masih dipegang oleh Denmark, Selandia Baru, dan Singapura dengan skor masing-masing 9,3. Sementara di peringkat berikutnya ada Swedia dan Finlandia yang sama-sama mengantongi skor 9,2.
Peringkat IPK Indonesia yang berada di posisi 110 diyakini masih termasuk kecil mengingat negara kita merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Dengan peringkat tersebut, Indonesia bisa dibilang sejajar dalam hal korupsi dengan negara-negara berkembang, yang kondisinya lebih buruk dari negara kita secara ekonomi maupun Politik, misalnya Aljazair, Gabon, atau Kosovo.
Di lingkup regional Asia Tenggara, persepsi korupsi Indonesia menduduki posisi keempat dari 10 negara. Peringkat Pertama tentu saja Singapura (9,3), diikuti Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5), Indonesia masih kalah dari negeri jiran Malaysia, bahkan Thailand, negara yang diketahui situasi politiknya sedang tidak stabil dalam tiga tahun terakhir ini. Apa yang dapat ditarik dari hasil survei persepsi korupsi tersebut?
Stagnannya IPK Indonesia menunjukkan bahwa negara ini masih lekat dengan citra sebagai negara korup. Pemberantasan korupsi yang menjadi agenda setahun Pemerintahan belum membuahkan hasil signifikan. Berbagai usaha yang dilakukan aparat Penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun kehakiman, masih jauh dari harapan masyarakat.
Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis mengatakan, stagnannya IPK Indonesia Pada 2010 disebabkan melemahnya kinerja pemberantasan korupsi selama setahun terakhir. "Secara institusional kita tidak melihat adanya komitmen kuat untuk memberantas korupsi," ujar Todung. Hai ini ironis, sebab Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah menargetkan skor IPK Indonesia pada 2015 sebesar 5,0.
Menurut Todung, stagnannya pemberantasan korupsi juga disebabkan perseteruan antar lembaga penegak hukum dalam kasus ditahannya pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Kriminalisasi terhadap pimpinan KPK membuat kepemimpinan di lembaga tersebut melemah sehingga otomatis berpengaruh terhadap kinerja pemberantasan korupsi.
Sejak Bibit dan Chandra ditangkap, KPK seolah "masukangin" dan kehilangan taji dalam mengusut kasus-kasus korupsi besar. Padahal, KPK pada tahun-tahun sebelumnya berhasil mengungkap skandal-skandal besar  yang melibatkan pejabat tinggi di Republik ini seperti kasus korupsi Bank Indonesia (BI), dugaan aliran dana BI ke DPR hingga skandal suap di Kejaksaan Agung.
Menurunnya kinerja KPK terutama terjadi pada semester pertama tahun 2010 di mana sebenarnya banyak kasus besar yang seharusnya bisa diusut, misalnya kasus Century atau dugaan suap cek lawatan anggota DPR terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Gultom. Lebih lanjut, Todung menambahkan, melemahnya pemberantasan korupsi juga terlihat dari adanya upaya pelemahan secara sistematis terhadap KPK.
Pengacara senior itu menyebutkan upaya pelemahan KPK, antara lain melalui pengajuan judicial review terhadap UU KPK, legislative review terhadap UU KPK, serta penarikan personel dari KPK. Padahal, KPK awalnya dibentuk sebagai lembaga superbodi yang diberi mandat khusus untuk memerangi korupsi. Jika lembaga ini dikebiri, pupus sudah harapan Indonesia bebas korupsi. Apalagi peran KPK relatif lebih dipercaya publik ketimbang institusi-institusi penegak hukum lainnya.
Karena skala IPK diukur melalui indikator persepsi (sikap dan kognisi), perubahan skor IPK dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat dilihat secara kasat mata oleh publik. Dalam hal ini, stagnannya peringkat IPK Indonesia juga diyakini tidak terlepas dari pemberitaan media massa tentang kasus-kasus korupsi akhir-akhir ini. Terutama skandal mafia hukum dalam kasus penyelewengan pajak yang melibatkan pegawai Dirjen Pajak Gayus Tambunan dan sejumlah aparat hukum. Terungkapnya kasus Gayus Tambunan yang diketahui memiliki rekening puluhan miliar rupiah sangat kontras dengan status dan kinerjanya sebagai pegawai negeri sipil. Tidak hanya itu, kasus ini juga menghentak publik karena dalam penggelapan pajak tersebut oknum aparat penegak hukum juga ikut bermain. Tak kurang dari dua orang brigjen polisi, pejabat setingkat AKP, beberapa jaksa, dan sejumlah pengacara ikut tersandung kasus ini sehingga mencoreng profesionalisme korps masing-masing.
Karena itu, hasil IPK 20l0 harus dijadikan momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi kinerja pemberantasan korupsi. Kita tidak boleh bertepuk dada dengan "prestasi" korupsi tahun ini yang tidak merosot dari tahun sebelumnya. Masih banyak yang harus dibenahi  agar indeks persepsi korupsi Indonesia lebih positif. Jika pemberantasan korupsi terus stagnan seperti ini, tentu target skor IPK ideal 5,0 ibarat mimpi di siang bolong.
Genjot lagi pemberantasan korupsi adalah harga mati. Bukan sekadar untuk memenuhi target IPK saja, melainkan juga untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Perilaku korup di Indonesia telah sedemikian kronis dan menjangkiti hampir seluruh lembaga negara sehingga diperlukan komitmen yang serius dan langkah luar biasa untuk memberantasnya. Rakyat sudah lelah melihat para pejabat, kepala daerah, dan wakil rakyat yang satu persatu masuk bui akibat korupsi.
Adapun hal-hal yang harus dilakukan untuk mencabut korupsi dari akar-akarnya antara Iain dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan reformasi institusi institusi penegak hukum meliputi kepolisian, kejaksaan, kehakiman, termasuk KPK. Terutama KPK. Dari sekian banyak instirusi penegak hukum, hanya lembaga ini yang masih mendapat dukungan luas dari masyarakat. Sementara citra aparat penegak hukum lain justru disorot publik.
Selain lembaga penegak hukum, pemerintah juga perlu membenahi kinerja instansi pelayanan publik yang diindikasikan korup. Hal ini juga harus diikuti dengan proses evaluasi agar tercipta sistem pelayanan publik yang transparan dan akuntabel. Saat ini masih jamak ditemui di berbagai daerah, pelayanan birokrasi yang berbelit-belit sehingga mendorong pungli. Atau, masih banyaknya peraturan perizinan yang sedemikian rupa sehingga memicu pelaku usaha untuk melakukan suap.
Jika langkah-langkah itu sudah dilakukan, niscaya upaya Indonesia menghapus citra negara korup dan target IPK Indonesia 5,0 pada 2015 segera tercapai. Juga harapan masyarakat akan kinerja pemberantasan korupsi yang membaik akan terwujud.

(mazhar/litbang SINDO)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sponsored By

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...